بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا قُمْتَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ
مِنَ القُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ
قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اجْلِسْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فىِ صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Apabila kamu berdiri untuk
shalat bertakbirlah kemudian baca Qur’an yang mudah bagi kamu, Kemudian
ruku’lah dengan Thumaninah, Kemudian bangun sampai berdiri tegak, Kemudian
sujud dengan Thumaninah, Kemudian duduk dengan thumaninah, Kemudian lakukan
semua itu di semua shalat kamu. (HR. Ibnu Hiban)
وَالإِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ
فِيْهِ ؛ الإِعْتِدَالُ رُكْنٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسِيْءِ
صَلاَتَهُ "ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا" وَأَمَّا وُجُوْبُ
الطُّمَأْنِيْنَةِ فَلِحَدِيْثٍ صَحِيْحٍ رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدَ وَابْنُ حِبَّانِ
فىِ صَحِيْحِهِ وَقِيَاسًا عَلَى الجُلُوْسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ
I’tidal
dan Thumaninah dalam I’tidal ; Ialah salah satu rukun Shalat, berdasarkan sabda
Nabi SAW kepada seseorang yang saat itu melakukan shalat dengan buruk “Kemudian
bangun sampai berdiri tegak” (bacalah haditsnya..!) Adapun Kewajiban Thumaninah
dalam I’tidal adalah berdasarkan hadits sohih yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad
dan Al-Imam Ibnu Hiban dalam sohih haditsnya, juga berdasarkan qiyas atau
mengukurkan I’tidal dengan duduk diantara dua sujud, sama-sama termasuk rukun
pendek.
ثُمَّ الإِعْتِدَالُ الوَاجِبُ
أَنْ يَعُوْدَ بَعْدَ رُكُوْعِهِ إِلىَ الهَيْئَةِ الَّتِىْ كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ
الرُّكُوْعِ سَوَاءٌ صَلاَّهَا قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا وَلَوْ رَفَعَ الرَّاكِعُ رَأْسَهُ
ثُمَّ سَجَدَ وَشَكَّ هَلْ أَتَمَّ اعْتِدَالُهُ وَجَبَ أَنْ يَعْتَدِلَ قَائِمًا وَيُعِيْدُ
السُّجُوْدَ وَيَجِبُ أَنْ لاَ يَقْصِدَ بِرَفْعِهِ غَيْرَ الإِعْتِدَالِ فَلَوْ رَأَى
فىِ رُكُوْعِهِ حَيَّةً فَرَفَعَ فَزْعًا مِنْهَا لَمْ يُعْتَدُّ بِهِ
Kemudian
I’tidal yang diwajibkan dalah pelaksanaan shalat ialah kembali setelah ruku’
pada keadaan semula sebelum ruku’ baik shalat dalam keadaan berdiri ataupun
shalat dalam keadaan duduk. Apabila seorang ruku’ mengangkatkan kepalanya
kemudian ia melakukan sujud, namun ragu apakah ia melakukan I’tidal dengan
sempurna atau tidak, maka ia wajib melakukan I’tidal dengan tegak serta
mengulang kembali sujudnya. Juga diwajibkan, jangan bermaksud bangkit selain
untuk I’tidal, artinya apabila seseorang melihat ular di saat melakukan ruku’
kemudian ia kaget dan spontan bangun dari ruku’ maka bangun dari ruku’ seperti
itu tidak diperhitungkan sebagai bangun untuk I’tidal.
وَيَجِبُ أَنْ لاَ يُطَوِّلَ
الإِعْتِدَالَ فَإِنْ طَوَّلَهُ عَمْدًا فَفِى بُطْلاَنِ صَلاَتِهِ ثَلاَثَةُ أَوْجُهٍ
أَصَحُّهَا عِنْدَ إِمَامِ الحَرَمَيْنِ وَقَطَعَ بِهَ البَغَوِى تَبْطُلُ إِلاَّ مَا
وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَطْوِيْلِهِ فىِ القُنُوْتِ أَوْ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ , وَالثَّانىِ
لاَ تَبْطُلُ مُطْلَقًا , وَالثَّالِثُ إِنْ طَوَّلَ بِذِكْرٍ آَخَرٍ لاَ بِقَصْدِ
القُنُوْتِ لَمْ تَبْطُلُ وَهَذَا مَا اخْتَارَهُ النَّوَوِى وَقاَلَ إِنَّهُ الأَرْجَحُ
Dan
wajib untuk tidak memperlama melakukan I’tidal, karena apabila memperlama
I’tidal dengan sengaja hukum batal shalatnya ada tiga sisi, dan yang paling
sohih dan benar mnurut Imam Harmaen dan diputuskan oleh Imam Al-Bagowi adalah
batal shalat. Terkecuali pada sesuatu yang agama menetapkannya untuk melakukan
I’tidal lama, seperti pada saat melakukan qunut atau pelaksanaan shalat tasbih.
Kedua, secara mutlak tidak membatalkan shalat. Ketiga, apabila memperlama
I’tidal dengan bacaan dzikir lain dan bukan berkmaksud untuk qunut maka itu
tidak membatalkan shalat, hal ini pendapat pilihan Al-Imam Nawawi, karena
beliau menyatakan inilah pendapat yang paling unggul.
وَقاَلَ فىِ شَرْحِ المُهَذَّبِ
إِنَّهُ الأَقْوَى إِلاَّ أَنَّهُ صَحَّحَ فىِ أَصْلِ المَنْهَاجِ أَنَّ تَطْوِيْلَهُ
مُبْطِلٌ فىِ الأَصَحِّ فَعَلَى مَا صَحَّحَهُ فىِ المَنْهَاجِ حَدُّ التَّطْوِيْلٍ
أَنْ يُلْحِقَ الإِعْتِدَالُ بِالقِيَامِ فىِ القِرَاءَةِ نَقَلَهُ الخَوْارْزَمِى
عَنِ الأَصْحَابِ وَيُلْحَقُ الجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ بِالتَّشَهُّدِ إِذَا
قُلْنَا إِنَّهُ قَصِيْرٌ , وَاللهُ أَعْلَمَ
Al-Imam Nawawi berkata dalam kitab
Syarah Al-Muhadzab, pendapat tersebut ialah lebih kuat. Akan tetapi beliau
membenarkan dalam redaksi Asalkitab Al-Manhaj bahwa memperlama I’tidal
membatalkan shalat adalah pendapat paling sohih, namun pendapat sohih dalam
Ktab Al-Manhaj ini menyertakan batasan I’tidal lama dengan mempersamakan
I’tidal dengan berdiri untuk membaca surat, demikian kutifan Ayekh Al-Khorzmi
dari para Ashab (Para Ulama madhab Imam Syafe’i). Juga duduk diantara dua sujud
adalah dipersamakan dengan tasyahud apabila kami katakan bahwa itu termasuk
rukun pendek.
Allah
Mengetahui Segalanya.
Pustaka
:
- Sohih Ibnu
Hiban Al-Imam Muhammad bin Hiban
- Kifayatul-Akhyar
Fiqih Imam Syafe’i, Al-Imam Taqiuddin Abu Bakar Al-Hisni