Tuesday, February 21, 2012

TIGA MACAM KRITERIA SYAHID


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوا فيِ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati,
Bahkan mereka itu hidup[248] disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali Imran 169)
[248] Yaitu hidup dalam alam lain yang bukan alam kita ini, dimana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan dari Allah,
Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana Keadaan hidup itu.

وَأَمَّا الشَّهِيْدُ فَهُوَ ثَلاَثَةُ أَقْسَامٍ ؛ ِلأَنَّهُ إِمّاَ شَهِيْدُ الآَخِرَةِ فَقَطْ , فَهُوَ كَغَيْرِ الشَّهِيْدِ

Adapun syahid ada tiga bagian, karena adakalanya syahid akhirat saja, ini adalah seolah bukan dalam keadaan syahid. (karena mengurus jenazahnya sama dengan orang yang meninggal pada umumnya).

وَذَلِكَ كاَلمَبْطُوْنِ وَهُوَ مَنْ قَتَلُهُ بَطْنُهُ بِالاِسْتِسْقاَءِ أَيْ اجْتِمَاعِ ماَءِ أَصْفَرٍ فِيْهِ أَوْ بِالإِسْهاَلِ , وَالغَرِيْقُ وَإِنْ عَصَي فيِ الغَرْقِ بِنَحْوِ شَرْبِ خَمْرِ دُوْنَ الغَرِيْقِ بِسَيْرِ سَفِيْنَةٍ فيِ وَقْتِ هَيْجَانِ الرِّيْحِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِشَهِيْدٍ , وَالمَطْعُوْنٌ وَلَوْ فيِ غَيْرِ زَمَنِ الطَّاعُوْنِ أَوْ بِغَيْرِهِ فيِ زَمَنِهِ أَوْ بَعْدَهُ حَيْثُ كاَنَ صاَبِرًا مُحْتَسِبًا , وَالمَيِّتُ عَشْقًا بِشَرْطِ الكَفِّ عَنِ المَحَارِمِ حَتَّى عَنِ النَّظْرِ بِحَيْثُ لَوْ اخْتَلَى بِمَحْبُوْبِهِ لَمْ يَتَجَاوَزْ الشَّرْعِ وَبِشَرْطِ الكِتْمَانِ حَتَّى عَنْ مَعْشُوْقِهِ , وَالمَيْتَةُ طَلَقًا وَلَوْ مِنْ زِناَ إِذَالَمْ تَتَسَبَبَ فيِ إِسْقَاطِ الوَلَدِ , وَالمَقْتُوْلُ ظُلْمًا وَلَوْ بِحَسَبِ الهَيْئَةِ كَمَنْ اسْتَحَقَّ القَتْلَ بِقَطْعِ الرَّأْسِ فَقَتَلَ بِالتَّوَسُطِ مَثَلاً , وَالغَرِيْبُ وَإِنْ عَصَي بِغَرْبَتِهِ كَآَبِقٍ وَناَشِزَةٍ , وَالمَيِّتُ فيِ طَلَبِ العِلْمِ وَلَوْ عَلَى فِرَاشِهِ , وَالحَرِيْقُ , وَالمَيِّتُ بِهَدَمٍ , وَكَذَا مَنْ مَاتَ فَجْأَةً أَوْ فيِ دَارِ الحَرَبِ قاَلَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ , وَكَذَا المَحْدُوْدُ سَوَاءٌ زِيْدَ عَلَى الحَدِّ المَشْرُوْعِ أَمْ لاَ وَسَوَاءٌ سَلِمَ نَفْسُهُ ِلاسْتِيْفَاءِ الحَدِّ مِنْهُ تاَئِبًا أَمْ لاَ قاَلَهُ الشِّبْرَامِلْسِي

Orang yang meninggal syahid akhirat itu diantaranya (1) MABTHUN; Orang yang meninggal karena sakit perut, baik disebabkan muntah dari mulut yaitu sejenis penyakit yang ditimbulkan terlalu banyak cairan kuning dalam perutnya, ataupun disebabkan muntah berak. (2) GHORIQ; Orang yang meninggal karena tenggelam, meskipun tenggelam karena melakukan dosa, misalnya karena minum minuman keras. Bukan tenggelam disebabkan naik perahu pada waktu cuaca buruk, ombak tinggi, ini tidak termasuk syahid. (3) MATH’UN; Orang yang meninggal karena penyakit tha’un (wabah penyakit berat) meskipun bukan musimnya, atau bukan penyakit tha’un namun terjadi di musim wabah penyakit yang merenggutnya, tentunya sekiranya diiringi sabar dan ikhlas karena Allah dalam menghadapi penyakitnya. (4) ‘ISYQON; Orang yang meninggal karena kedahsyatan cinta, tentunya dengan syarat mengendalikan diri dari yang diharamkan, sekalipun melihatnya, bahkan apabila diperkirakan bisa bersama dengan terkasihnya dia tidak akan pernah melakukan hal terlarang, dan juga dengan syarat mampu menyembunyikan rasa cinta itu sekalipun dari terkasihnya. (5) THALQAN; Orang yang meninggal karena sakit melahirkan, meskipun melahirkan dari zina, tentunya selama melahirkannya tidak ada unsur penguguran kandungan. (6) MAQTHUL DLULMAN; Orang yang meninggal dibunuh dengan jahat, dalam kondisi apapun. Seperti ada orang yang berhak di hukum mati dengan memenggal kepalanya, kemudian dia terbunuh dengan memenggal badannya. (7) GHORIB; Orang yang meninggal di perantauan, meskipun merantau yang berdosa, seperti sahaya yang minggat dari majiakannya dan perempuan yang minggat dari suaminya. (8) THOLABUL ILMI; Orang yang meninggal dalam rangka menuntut ilmu agama Islam, meskipun meninggal di tempat tidurnya. (9) HARIQ; Orang yang meninggal karena terbakar. (10) HADAM; Orang yang meninggal tertimpa tembok. (11) FAJ-AH; Orang yang meninggal mendadak. (11) FI DAAR HARBI; Orang yang meninggal di daerah kafir yang memerangi Islam, ini sebagaimana penejlasan dari Syekh Ibnu Rif’ah. (12) MAHDUD; Orang yang meninggal karena terhukum pidana secara Islam, sekalipun melebihi batas vonis Islam atau tidak, sekalipun dirinya selamat dari kematian dengan menegakkan hukum Islami itu atau tidak, dan dengan bertaubat ataupun tidak, demikian sebagaimana pernyataan Syekh Asyibramilsiy.

وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ لَهُمْ أَنَّهُمْ -أَحْياَءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ- قاَلَهُ الحِصْنِي

Makna meninggal syahid untuk mereka tersebut di atas adalah bahwa mereka “mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki” (QS. Ali Imran 169), demikian itu sebagaimana pernyataan Syekh Al-Hisniy.

وَالأَوْجَهُ فيِ ذَلِكَ أَنْ يُقاَلَ إِنْ كاَنَ المَوْتُ مَعْصِيَّةً كَأَنْ تَسَبَّبَتْ المَرْأَةُ فيِ إِلْقاَءِ الحَمْلِ فَماَتَتْ أَوْ رَكِبَ شَخْصٌ البَحْرَ وَسَيْرَ السَّفِيْنَةَ فيِ وَقْتٍ لاَ تَسِيْرُ فِيْهِ السُّفُنُ فَغَرَقَ لَمْ تَحْصُلُ لَهُ الشَّهَادَةُ لِلْعِصْياَنِ بِالسَّبَبِ المُسْتَلْزِمِ لِلْعِصْياَنِ بِالمُسَبَّبِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ السَّبَبُ مَعْصِيَّةً حَصَلَتْ الشَّهَادَةُ وَإِنْ قاَرَنَهاَ مَعْصِيَّةً ِلأَنَّهُ لاَ تَلاَزُمٍ بَيْنَهُمَا

Pendapat yang paling kuat dalam hal meninggal syahid adalah “Ketika kematiannya ada unsur maksiat, seperti seorang wanita dengan sengaja menggugurkan kandungan dan ia meninggal (adalah tidak syahid). Atau seseorang menaiki perahu dan berlayar, namun itu dilakukan pada waktu tidak lazimnya untuk berlayar karena cuaca buruk atau gelombang tinggi misalnya, dan tenggelam maka semua itu tidak termasuk mendapatkan syahid. Oleh karena perbuatan maksiat sebagai penyebab yang lazim dosa atas perbuatan yang dilakukannya. Namun apabila kematiannya tidak ada unsur sebab berupa maksiat maka nilai syahid akan didapatkannya. Dan juga masih termasuk nilai syahid apabila kematiannya seiring dengan melakukan perbuatan maksiatnya, karena antara kematian dan perbuatan maksiatnya tidak terhubung secara lazim. Tidak terhubung secara lazim adalah jika melakukan maksiat itu tidak lazim menimbulkan kematian.

وَمِنْ ذَلِكَ ماَ لَوْ صَادَ حَيَّةً وَهُوَ لَيْسَ حاَذِقاً فيِ صَيِّدِهاَ أَوْ صَنَعَ نَحْوَ البَهْلَوَانَ وَلَمْ يَكُنْ حاَذِقاً فيِ صَنْعَتِهِ فَماَتَ فَلَيْسَ بِشَهِيْدٍ بِخِلاَفِ الحاَذِقِ فِيْهِمَا فَإِنَّهُ شَهِيْدٌ لِعَدَمِ تَسَبُّبِهِ فيِ هِلاَكِ نَفْسِهِ

Dari pengertian syahid tersebut adalah apabila seseorang hendak berburu ular, namun dia tidak mahir bagaimana cara berburu ular, atau dia menggunakan jaring perangkap sedangkan tidak mahir dalam menggunakannya kemudian dia meninggal tewas karena buasnya ular, maka itu bukan termasuk syahid. Lain halnya apabila dia mahir dalam kedua hal ini, maka dia termasuk mendapatkan syahid, alasannya karena dia tidak ada unsur kesengajaan dalam kematiannya, tidak menantang kematian.

قاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -إِنَّ أَكْثَرَ شُهُدَاءِ أُمَّتِي ِلأَصْحاَبِ الفِرَشِ وَرُبَّ قَتِيْلِ بَيْنَ الصِّفِيْنَ اللهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ - أَيْ الَّذِيْنَ يَأْلِفُوْنَ النَّوْمَ عَلَى الفِرَشِ وَلاَ يُهاَجِرُوْنَ الفِرَشَ وَيَقْصِدُوْنَ لِلْغَزْوِ

Rasulullah SAW bersabda -Sesungguhnya mayoritas meninggal syahid diantara ummatku adalah orang-orang yang meninggal di tempat tidur, sekian banyak orang yang gugur di medan perang Sifin namun Allah maha tahu akan niat mereka- (HR. Ahmad). Orang yang meninggal syahid di ummat Rasulullah SAW mayoritas mereka yang masih tidur di tempat tidurnya, ia tidak bangkit keluar dari tempat tidurnya, bahkan belum sempat berniat untuk pergi berperang membela agama Allah SWT.

وَقاَلَ الحَكِيْمُ هَؤُلاَءِ قَوْمٌ اِطْمَأَنَتْ نُفُوْسُهُمْ إِلىَ رَبِّهِمْ وَشَغِلُوْا بِهِ عَنِ الدُّنْياَ وَتَمَنَّوْا لِقاَءَهُ فَإِذَا حَضَرَهُمُ المَوْتُ جَادُوْا بِأَنْفُسِهِمْ طَوْعًا وَبَذَّلُوْهاَ لَهُ إِيْثَارًا لِمَحَبَّتِهِ عَلَى مَحَبَّتِهَا فَهُمْ وَمَنْ قَتَلَ فيِ مَعْرِكَةِ المُشْرِكِيْنَ سَوَاءٌ فَيَناَلُوْنَ مَناَزِلَ الشُّهَدَاءِ ِلأَنَّ الشُّهَدَاءِ بَذَّلُوْا أَنْفُسَهُمْ ساَعَةً مِنْ نَهاَرٍ وَهَؤُلاَءِ بَذَّلُوْهاَ طُوْلَ العُمْرِ

Sykah Al-Hakim menyebutkan, orang-orang yang meninggal syahid di tempat tidur ini dialah orang-orang yang jiwanya tenang di hadapan Tuhannya, mereka sibuk menjauh dari duniawi, mengharap segera bertemu Allah SWT, apabila mereka dijemput dengan kematian maka mereka semakin memperbaiki ketaatan ibadahnya, segenap kemampuannya diserahkan sepenuhnya untuk taat beribadah di akhir hayatnya karena kecintaannya bertemu Allah SWT. Mereka ini sama derajatnya dengan orang-orang yang gugur di medan perang melawan kaum musrik, mereka sama sama mendapatkan nilai syahid. Karena orang-orang yang meninggal syahid di medan perang, menyerahkan diri sepenuhnya sesaat di waktu siang misalnya dan ketika mereka meninggal adalah syahid, dan juga orang-orang yang taat beribadah sepanjang umurnya adalah menyerahkan diri sepenuhnya dalam beribadah, ketika meninggal adalah juga termasuk syahid.

وَأَمّاَ شَهِيْدُ الدُّنْياَ فَقَطْ فَهُوَ مَنْ قَتَلَ فيِ قِتاَلِ الكُفّاَرِ بِسَبَبِهِ وَقَدْ غَلَّ فيِ الغَنِيْمَةِ أَوْ قَتَلَ مُدْبِرًا عَلَى وَجْهِ غَيْرَ مَرْضَي شَرْعًا أَوْ قاَتَلَ رِيَاءً أَوْ نَحْوَهُ

Adapun meninggal syahid dunia saja, adalah (1) Orang yang berperang melawan kaum musyrik, namun tujuannya untuk mendapatkan keuntungan harta dari rampasan perang, sedikitpun bukan karana Allah SWT. (2) Orang yang tewas terbunuh di medan perang pada saat mau pergi kabur menghindar, berpaling dari perang, dia meninggal dalam keadaan tidak direstui ajaran Islam. (3) Orang yang tewas di medan perang itu karena ada unsur riya, ingin disebut pahlawan. Atau hal-hal lain yang tidak direstui ajaran Islam.

وَأَمّاَ شَهِيْدُ الدُّنْياَ وَالآَخِرَةِ مَعًا فَهُوَ مَنْ قَتَلَ كَذَلِكَ لَكِنْ قاَتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ العُلْياَ وَمُرَادُ الفُقَهَاءِ أَحَدُ هَذَيْنِ الأَخِيْرَيْنِ وَحُكْمُهُماَ أَنَّهُ يَجِبُ الدَّفْنُ

Adapun syahid dunia-akhirat secara bersamaan, adalah orang yang gugur di medan perang membela Islam, niatnya murni untuk menegakkan kalimat Allah (ajaran Islam). Dan menurut Ulama ahli Fiqih bahwa hukum kedua syahid ini, yaitu syahid dunia dan syahi dunia-akhirat hokum adalah wajib di kuburkan saja, tanpa proses dimandikan dan dishalatkan.

…Allah Mengetahui Segalanya…

Daftar Pustaka :
-  Fiqih Imam Asy-Syafei, Kitab Nihayatuz-Zein - Syekh Nawawi hal. 161
-  Hadits, Kitab Kanzul Amal - Syekh Ilauddin bin Hisamuddin Juz 4 hal. 417




Wednesday, February 8, 2012

EMPAT MACAM TINGKATAN HASUD


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فيِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آَنَاءَ اللَّيْلِ وَآَنَاءَ النَّهَارِ لَوْ أُتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ هَذَا لَفَعَلْتُ كَمَا يفْعَلَ وَرَجُلٌ آَتَاهُ اللهُ مَالاً يُنْفِقُهُ فيِ حَقِّهِ فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أُوتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ هَذَا فَعَلْتُ كَمَا يفْعَلَ
Tidak ada bentuk hasud melainkan pada saat melihat dua macam orang. Pertama apabila melihat seseorang diakruniakan Qur’an kemudian ia bisa membacanya di penghujung malam atau penghujung siang. Dan anda berkata, “Seandainya aku dikaruniakan Qur’an sebagaimana orang ini maka aku akan melakukan hal yang sama”. Kedua, apabila melihat seseorang yang dikaruniakan harta dan digunakan dengan benar. Dan andapun berkata, “Seandainya aku dikaruniakan harta seperti dia maka akupun akan melakukan hal yang sama. (HR. Bukhori Muslim)

وَأَصْلُهُ فيِ الصَّحِيْحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ , وَفيِ البُخَارِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ ، وَالمُرَادُ بِالحَسَدِ هُنَا الغِبْطَةُ وَهُوَ تَمَنِّي مَا لِلْمَحْسُودِ ، لاَ تَمَنِّي زَوَالَ تِلْكَ النِّعْمَةِ عَنْهُ فَإِنَّ ذَلِكَ الحَسَدُ المَذْمُومُ

Dasar hadits ini pada sohih Imam Bukhori-Muslim adalah didapatkan dari Ibnu Umar, sedang Imam Bukhori dan yang lainnya mendapatkan dari Abu Hurairoh. Yang dimaksud dengan hasud di sini adalah ghibthoh yaitu mengharapkan sesuatu yang ada pada orang yang dihasudi, bukan mengharap hilang kenikmatan tersebut darinya, karena jenis hasud mengharapkan hilang kenikmatan orang lain adalah hasud tercela.

Tingkatan sifat Hasud ada empat, diantaranya :

Tingkat pertama
المَرْتَبَةُ الأُوْلىَ هُوَ الَّذِى يَشُقُّ عَلَى نَفْسِهِ إِنْعاَمُ اللهِ تَعاَلىَ مِنْ خَزاَئِنِ قُدْرَتِهِ عَلَى عَبْدٍ مِنْ عِباَدِهِ بِعِلْمٍ أَوْ ماَلٍ أَوْ مَحَبَّةٍ فىِ قُلُوْبِ النَّاسِ كَكَثْرَةِ الإِتِّباَعِ أَوْ حَظٍّ مِنَ الحُظُوْظِ كَحُصُوْلِ المَنْصَبِ حَتَّى إِنَّهُ لَيَحِبُّ زَواَلَ تِلْكَ النِّعْمَةِ عَنْهُ وَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ لِلْحَسُوْدِ بِذَلِكَ أَىْ الحُبِّ وَالتَّمَنِى شَيْءٌ مِنْ تِلْكَ النِّعْمَةِ أَىْ لَمْ يَنْتَقِلْ إِلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ الحُبُوْبِ زَواَلُهُ وَالمُتَمَنِى حُصُوْلُهُ

Hasud adalah orang yang merasa berat pada dirinya Allah memberikan nikmat kepada salah satu hamba-Nya dari gudang kekuasaan Nya baik berupa ilmu, harta ataupun rasa cinta di hati manusia. Seperti banyak pengikut atau mendapatkan jabatan sehingga dia sangat menyukai melenyapkan nikmat tersebut dari orang lain. Meskipun dengan sifat hasud itu tidak terjadi lenyapnya nikmat orang itu dan dan dia sedikitpun tidak mendapatkan nikmat tersebut. Artinya sedikitpun kenikmatan orang lain itu tidak berpindah kepadanya dan juga sedikitpun dia tidak mendapatkan nikmat yang sulit didapatkan.

فَهَذاَ أَىْ حُبُّ زَواَلِ النِّعْمَةِ عَنِ العَبْدِ مُنْتَهَى الخَبَثِ أَىْ غاَيَةَ القَبْحِ

Hasud tingkat pertama ini yaitu gemar melenyapkan nikmat seseorang, sifat ini adalah sifat yang sangat tercela.

Tingkat kedua
 وَالمَرْتَبَةُ الثَّانِيَّةُ أَنْ يَحِبَّ زَواَلَ النِّعْمَةِ إِلَيْهِ لِرُغْبَتِهِ فىِ تِلْكَ النِّعْمَةِ مِثْلَ رُغْبَتِهِ فىِ داَرٍ حَسَنَةٍ أَوْ امْرَأَةٍ جَمِيْلَةٍ أَوْ وِلاَيَةٍ ناَفِدَةٍ أَوْ سِعَةٍ مِنَ الرِّزْقِ ناَلَهاَ غَيْرُهُ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ تَكُوْنَ لَهُ وَمَطْلُوْبُهُ تِلْكَ النِّعْمَةِ لاَزَواَلِهاَ عَنْهُ وَمَكْرُوْهُهُ فَقْدُ النِّعْمَةِ لاَتَنَعَمَ غَيْرِهِ بِهاَ

Menyukai lenyapnya nikmat yang ada pada dirinya karena dia menyenangi nikmat yang lain yang lebih baik, seperti dia menyenangi rumah yang lebih bagus dari yang dia punya, menyenangi istri cantik, menyenangi kekuasaan atau menyenangi rizki yang berlimpah dan semua itu di peroleh orang lain, dia sangat menyukai nikmat yang lebih dari itu dapat di miliki olehnya.

Dia berusaha mencari nikmat itu dan tidak berharap melenyapkan nikmat dari orang lain, akan tetapi dia benci apa bila tidak mendapatkan suatu nikmat yang tidak akan dapat dirasakan oleh orang lain.

Tingkat ketiga
وَالمَرْتَبَةُ الثَّالِثَةُ أَنْ لاَيَشْتَهِى عَيْنَ تِلْكَ النِّعْمَةِ لِنَفْسِهِ بَلْ يَشْتَهِى مِثْلَهاَ فَإِنْ عَجَزَ عَنْ مِثْلِهاَ أَحَبَّ زَواَلِهاَ عَنِ المُنْعِمِ عَلَيْهِ كَىْ لاَيَظْهَرُ التَّفاَوُتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ

Tidak mengharapkan suatu nikmat untuk dirinya akan tetapi dia mengharapkan nikmat yang lain, namun apa bila dia tidak mampu mendapatkan nikmat yang di harapkannya maka dia menyukai lenyapnya nikmat pada orang lain dari Allah Sang Maha pemberi nikmat, agar tidak nampak suatu perbedaan antara dirinya dan orang lain.

فاَلشَّقُّ الأَوَّلُ غَيْرُ مَذْمُوْمٌ وَهُوَ المُسَمَّى غَبْطَةً وَمُناَفِسَةً وَالشَّقُّ الثَّانِى مَذْمُوْمٌ

Sisi pertama tidaklah tercela, yaitu tidak mengharapkan suatu nikmat untuk dirinya akan tetapi dia mengharapkan nikmat yang lain dari Allah yang Maha pemberi. Ini namanya iri hati yang baik dan berlomba. Dan sisi kedua nya tercela, yaitu menyukai lenyapnya nikmat pada orang lain, agar tidak nampak suatu perbedaan antara dirinya dan orang lain.

Tingkat keempat
وَالمَرْتَبَةُ الراَّبِعَةُ أَنْ يَشْتَهِى لِنَفْسِهِ مَثْلَ تِلْكَ النِّعْمَةِ فَإِنْ لَمْ تَحْصُلْ فَلاَيَحِبُّ زَواَلَهاَ عَنِ المُنْعِمِ عَلَيْهِ

Mengharapkan pada dirinya suatu nikmat, namun apa bila tidak berhasil mendapatkannya dia tidak menyukai lenyapnya nikmat tersebut dari Allh Swt pada dirinya.

وَهَذاَ الأَخِيْرُ هُوَ المَعْفُوُ عَنْهُ إِنْ كاَنَ فىِ الدُّنْياَ وَالمَنْدُوْبُ إِلَيْهِ إِنْ كاَنَ فىِ الدِّيْنِ

Hasud tingkat terakhir ini sifat hati yang diampuni jika dalam hal duniawi dan disunnahkan jika dalam hal agama.

فَلِذَلِكَ أَىْ ِلأَجْلِ كَوْنِ الحَسُدِ غاَيَةَ الخَبَثِ قاَلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحَسُدُ يَأْكُلُ الحَسَناَتِ كَماَتَأْكُلُ النَّارُ الحَطَبُ رَواَهُ ابْنُ ماَجَهْ أَىْ لِماَفِيْهِ مِنْ نِسْبَةِ الرَّبِّ إِلىَ الجَهْلِ وَالسَّفِهِ وَوَضْعِ الشَّيْءِ فىِ غَيْرِ مَحَلِهِ

Karena keberadaan Hasud sangat tercela, maka Nabi Saw bersabda ; “Hasud dapat melenyapkan kebaikan sebagaimana api akan melenyapkan kayu bakar”. (HR. Ibnu Majah)

Karena dalam Hasud terkandung sikap yang menganggap bodoh dan dungu kepada Allah Swt, dan menyimpan sesuatu yang bukan pada tempatnya, maka sifta hasud ini sangat tercela.

وَالحَسُوْدُ هُوَ المُعَذَّبُ فىِ قَلْبِهِ الَّذِى لاَيَرْحَمُ وَلاَيَزاَلُ الحَسُوْدُ فىِ عَذاَبِ داَئِمٍ فىِ الدُّنْياَ

Orang yang berbuat hasud adalah orang yang di siksa dalam hatinya dengan tidak memiliki rasa kasih sayang, hasud tidak henti-hentinya berada dalam siksa yang kekal di dunia, apalagi di akhirat.

Allah mengetahui segalanya…

Pustaka : Muroqil Ubudiyah, Syekh Nawawi Banten


RINCIAN 27 PAHALA SHALAT BERJAMA’AH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
صَلاَةُ الجَماَعَةِ أَفْضَلٌ مِنْ صَلاَةِ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
Shalat berjama’ah adalah lebih uatama dari shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh tingkat 
(HR. Bukhori Muslim)

الجَماَعَةُ فىِ الصَّلاَةِ هِىَ مِنْ خَصاَئِصِ هَذِهِ الأُمَّةِ , فَإِنَّ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى جَماَعَةً مِنَ البَشَرِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّماَ كاَنُوْا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ ذَلِكَ فُرَادَى

Berjama’ah dalam shalat merupakan ajaran khusus umat Nabi Muhammad ini, karena awal mula melakukan shalat berjama’ah dari manusia adalah Rasulullah SAW, karena umat terdahulu termasuk para Nabinya melakukan shalat masing-masing sendirian.

وَمَعْناَهاَ الشَّرْعِىِّ رِبْطُ صَلاَةِ المَأْمُوْمِ بِصَلاَةِ الإِماَمِ , وَلَفْظُهاَ يَصْلُحُ لِكُلٍّ مِنَ الإِماَمِ وَالمَأْمُوْمِ وَيُتَعَيَّنُ ِلأَحَدِهِماَ بِالقَرِيْنَةِ وَهِىَ أَفْضَلُ مِنَ الإِنْفَراَدِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Pengertian berjama’ah shalat menurut pandangan agama ialah memiliki ikatan terhubung antara makmun dan imam, subsidi silang antara yang memimpin dan yang dipimpin juga sesama yang dipimpin. Ungkapan shalat berjama’ah adalah sangat baik dari imam dan makmum, dan ungkapan menyatakan berjama’ah itu ditentukan khusus untuk seorang imam dan makmum dengan adanya tanda berjama’ah. Dan shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendiri dengan selisih pahala dua puluh tujuh tingkat :

قَوْلُهُ بِسَبْعِ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً أَىْ أَوْ بِخَمْسِ وَعِشْرِيْنَ ؛ فاَلأُوْلىَ مَحْمُوْلَةٌ عَلَى الجَهْرِيَّةِ وَالثَّانِيَّةُ عَلَى السَّرِيَّةِ , هَذاَ فىِ الحَضَرِ

Pengertian dua puluh derajat atau dua puluh lima derajat adalah, yang pertama ini mengacu pada shalat yang bacaannya keras, sedang yang dua puluh lima derajat adalah mengacu pada shalat yang bacaannya pelan. hal ini berlaku pada shalat yang dilakukan di wilayah tempat tinggal.

وَأَمَّا فىِ السَّفَرِ فَصَلاَةُ الجَماَعَةِ أَفْضَلُ مِنَ الإِنْفَراَدِ بِخَمْسِيْنَ دَرَجَةً

Adapun di saat dalam perjalanan, shalat berjama’ah adalah lebih utama dari shalat sendirian dengan selisih pahala lima puluh tingkat.

Berikut rincian nilai pahala kebaikan yang terdapat shalat berjama’ah ;

وَذَلِكَ لِلأَسْباَبِ المُقْتَضِيَّةِ لِتِلْكَ الدَّرَجاَتِ كَإِجاَبَةِ المُؤَذِنِ , وَالتَّكْبِيْرِ إِلَيْهاَ , وَالمَشْىِ إِلىَ المَسْجِدِ بِسَكِيْنَةٍ , وَدُخُوْلِ المَسْجِدِ دَاعِياً , وَصَلاَةِ التَّحِيَّةِ , وَانْتِظاَرِ الجَماَعَةِ , وَصَلاَةِ المَلاَئِكَةِ عَلَيْهِ , وَشَهاَدَتِهِمْ لَهُ , وَإِجاَبَةِ الإِقاَمَةِ , وَالسَّلاَمَةِ مِنَ الشَّيْطاَنِ حِيْنَ يَفِرُّ عِنْدَ الإِقاَمَةِ , وَالوُقُوْفِ مُنْتَظِرًا إِحْراَمَ الإِماَمِ , وَإِدْراَكِ تَكْبِيْرِ الإِماَمِ , وَتَسْوِيَّةِ الصُّفُوْفِ , وَسَدِّ فَرْجِهاَ , وَجَواَبِ الإِماَمِ عِنْدَ قَوْلِهِ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ , وَالأَمْنِ مِنَ السَّهْوِ غاَلِباً , وَتَنْبِيْهِ الإِماَمِ إِذاَ سَهاَ , وَحُصُوْلِ الخُشُوْعِ , وَالسَّلاَمَةِ مِمَّايُلْهِى غاَلِباَ , وَتَحْسِيْنِ الهَيْئَةِ غاَلِباَ , وَاحْتِفاَفِ المَلاَئِكَةِ بِهِ , وَالتَّدَرُّبِ عَلَى تَجْوِيْدِ القِرَاءَةِ , وَتَعَلُّمِ الأَرْكاَنِ , وَالأَبْعاَضِ , وَإِظْهاَرِ شِعاَرِ الإِسْلاَمِ , وَإِرْغاَمِ الشَّيْطاَنِ بِالإِجْتِماَعِ عَلَى العِباَدَةِ , وَالتَّعاَوُنِ عَلَى الطَّاعَةِ , وَنَشاَطِ المُتَكاَسِلِ , وَالسَّلاَمَةِ مِنْ صِفَةِ النِّفاَقِ , وَمِنْ إِساَءَةِ الظَّنِّ بِهِ أَنَّهُ تَرَكَ الصَّلاَةَ , وَنِيَّةِ رَدِّ السَّلاَمِ عَلَى الإِماَمِ , وَالإِنْتِفاَعِ بِاجْتِماَعِهِمْ عَلَى الدُّعاَءِ , وَالذِّكْرِ , وَعَوْدِ البَرَكَةِ الكاَمِلِ عَلَى النَّاقِصِ , وَقِياَمِ نِظاَمِ الأُلْفَةِ بَيْنَ الجِيْراَنِ , وَحُصُوْلِ تَعاَهُدِهِمْ فىِ أَوْقاَتِ الصَّلَولَتِ , وَالإِنْصاَتِ عِنْدَ قِرَاءَةِ الإِماَمِ , وَالتَّأْمِيْنِ عِنْدَ تَأْمِيْنِهِ .

Shalat berjama’ah memiliki nilai pahala 25 tingkat, 27 tingkat, bahkan sampai 50 tingkat adalah disebabkan hal-hal kebaikan yang terdapat bersamanya, seperti :

NO.
KEBAIKAN SHALAT BERJAMA’AH
NO.
KEBAIKAN SHALAT BERJAMA’AH
(1)
Menjawab orang adzan
(19)
Biasanya aman dari hal-hal yang melalaikan dalam pelaksanaan shalat
(2)
Takbir untuk berjama’ah
(20)
Biasanya baik di gerakan dan bacaan shalat
(3)
Berjalan menuju mesjid dengan tenang
(21)
Dikelilingi oleh para malaikat
(4)
Masuk mesjid pertanda mengajak orang
(22)
Baik dalam mrengontrol bacaan qur’an
(5)
Shalat Tahiyyatul mesjid
(23)
Baik dalam mengontrol rukun-rukun shalat
(6)
Menunggu dilaksanakan berjama’ah
(24)
Baik daam mengontrol sunnah ab’ad shalat
(7)
Keikutsertaan malaikat di berjama’ah
(25)
Menampakkan syi’ar Islam
(8)
Kesaksian malaikat di berjama’ah
(26)
Membuat rugi syetan sebab kumpul ibadah
(9)
Menjawab Iqomah
(27)
Membangkitkan diri jauh dari rasa malas
(10)
Aman dari tipu daya syetan saat menyambut Iqomah
(28)
Selamat dari sifat sifat orang munafiq
(11)
Berdiri menanti Takbiratul Ihram Imam
(29)
Selamat dari membuat prasangka buruk orang kepada dirinya, bahwa dirinya sebagai orang yang meninggalkan shalat
(12)
Mengikuti Takbiratul Ihram Imam
(30)
Niat menjawab salam Imam
(13)
Meluruskan barisan shalat
(31)
Keuntungan berkumpul dalam berdo’a
(14)
Merapatkan barisan shalat
(32)
Saling memberikan berkah shalat, shalat yang kurang akan mendapatkan keberkahan dari shalat yang sempurna.
(15)
Menjawab Imam di saat imam berdo’a ruku’ “Semoga Allah mendengar orang yang memujiNya”
(33)
Menegakkan ikatan persaudaraan diantara para tetangga
(16)
Biasanya bisa bebas dari lupa dalam shalat
(34)
Mengontrol perhatian akan waktu shalat
(17)
Bisa mengingatkan Imam jika ia lupa
(35)
Menyimak bacaan qur’an Imam
(18)
Mencapai kekhusyuan dalam shalat
(36)
Membaca amin bersamaan dengan aminnya Imam
  
Dan lain sebagainya…
وَالحِكْمَةُ فِيْهاَ أَنَّ الصَّلاَةَ ضِياَفَةٌ وَماَئِدَةُ بِرٍّ وَالكَرِيْمُ لاَيُضِيْعُ ماَئِدَتَهُ إِلاَّ لِجِماَعَةٍ

Hikmah dalah melaksanakan shalat berjama’ah adalah bahwa shalat merupakan jamuan dan hidangan kebaikan, orang yang baik tidak akan menyia-nyiakan hidangan jamuan melainkan akan dilakukan dengan berjama’ah atau bersama-sama. Jamuan makanan saja yang di santap bersama-sama adalah sebuah sikap yang terpuji apalagi jamuan rahmat Allah SWT.

DO’A SELESAI IQOMAH
أَقاَمَهاَ اللهُ وَأَدَامَهاَ ماَدَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَجَعَلَنِي مِنْ صاَلِحِي أَهْلِهاَ

Semoga Allah tetap menegakkan shalat dan mengkekalkannya selama langit dan bumi masih berada, jan jadikanlah aku sebagai orang yang baik dan ahli dalam melakukan shalat, amien.

Allah mengetahui segalanya…

Pustaka : Nihayatuz-Zein, Syekh Nawawi Banten


Wednesday, February 1, 2012

MENGHIDUPKAN WAKTU ANTARA MAGRIB DAN ISYA


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
مَنْ صَلَّى بَعْدَ المَغْرِبِ سِتَّ رَكَعاَتٍ لَمْ يَتَكَلَّمْ بَيْنَهُنَّ بِسُوْءٍ عَدَّلْنَ لَهُ بِعِباَدَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً - قَوْلَهُ عَدَّلْنَ لَهُ أَيْ ساَوِيْنَ مِنْ جِهَةِ الأَجْرِ لَهُ أَيْ لِلْمُصَلِّيْ
Barangsiapa melaksanakan shalat sunnah setelah magrib empat raka’at, tidak berbicara buruk diantara pelaksanaan shalat sunnah tersebut maka hal itu adalah mengimbangi ibadah dua belas tahun – Maksud mengimbangi ialah menyamai dari sisi pahala bagi orang yang melaksanakan shalat tersebut. (Dari Abu Hurairoh)


Shalat Hifdil Iman
Shalat Hifdil Iman artinya memohon perlindungan iman dari kemusyrikan, ia adalah shalat sunnah yang dikerjakan setelah shalat fardu maghrib setelah atau sebelum shalat Awwabin, jumlahnya dua raka’at.

Bacaan surat setiap dua raka’at shalat sunnah Hifdil Iman pada setiap raka’at setelah Fatihah Al-Qodar 1 kali, Al-Ikhlas 6 kali, Al-Falaq 1 kali dan An-nas 1 kali. Juga boleh setelah Fatihah raka’at pertama Al-Kafirun dan raka’at kedua Al-Ikhlas.

Setelah salam menyungkur sujud sambil baca do’a berikut :

أَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْتَوْدِعُكَ دِيْنِى وَإِيْماَنِى فاَحْفَظْهُماَ عَلَىَّ فىِ حَياَتِى وَعِنْدَ مَماَتِى وَبَعْدَ وَفاَتِى 
Artinya :
Ya Allah sesungguhnya aku menitipkan kepadaMu akan agamaku dan keimananku, jagalah keduanya untuk tetap pada diriku baik pada masa hidupku, matiku ataupun setelah kematianku

Setelah sujud hendaknya membaca do'a berikut :

أَللَّـهُمَّ سَدِّدْنِى بِالإِيْمَانِ وَاحْفَظْهُ عَلَيَّ فىِ حَياَتِى وَعِنْدَ وَفاَتِى وَبَعْدَ مَماَتِى
Artinya :
“Ya Allah kuatkan kepadaku keimanan, lindungi keimanan atas diriku pada saat hidupku, matiku dan setelah kematianku".

Niat shalat Hifdil Iman raka’at :

أُصَلِّى سُنَّةً لِحِفْظِ الإِيْماَنِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ أَداَءً ِللهِ تَعاَلىَ

“Saya niat shalat sunnah Menjaga Iman dua raka’at menghadap kiblat, 
tunai karena Allah”
  
Allah mengetahui Segalanya. 

KONSULTASI HUKUM ISLAM

KAJIAN HARI SABTU

KAJIAN HARI MINGGU

TADARUS MALAM RABU

SYARAH SAFINATUN-NAJA

SYARAH SAFINATUN-NAJA
TERJEMAH KASYIFATUS-SAJA SYARAH SAFINATUN-NAJA

WASPADAI BELAJAR TANPA GURU

WASPADAI BELAJAR TANPA GURU
Ketika mendapatkan ilmu agama Islam tanpa bimbingan guru Maka jelas gurunya syetan, bahkan kesesatan akan lebih terbuka lebar Waspadailah belajar agama Islam tanpa bimbingan guru. Nah, apakah anda punya guru? .. kunjungilah beliau…!! Apabila ingin mendapat ilmu manfaat dan terjaga dari kesesatan

SILSILAH GURU AHMAD DAEROBIY (KANG DAE)